Minggu, 30 Maret 2014

Cinta tanpa tapi

Aku mencintaimu
 tapi hatiku terbagi pada masa lalu

Aku mencintaimu

 tapi aku ingin menghabiskan waktu bersama teman-temanku

Aku mencintaimu
 tapi mimpi-mimpiku harus kucapai dulu

Aku mencintaimu
 tapi ibu tak ingin aku menikah buru-buru

Aku mencintaimu
 tapi aku harus melepasmu

Sayang, sungguh kuingin kau percaya
 aku mencintaimu



Palembang, Taman kota, 30 March 2014
























Senin, 24 Maret 2014

Pagi yang sia-sia

My Novela :
- Chapter one –                                                                      


Aku menahan air mata sekuat tenaga, memasang senyum lebar-lebar. Mungkin hanya mereka yang betul-betul peduli padaku yang akan menyadari – dan hingga saat ini belum ada satupun yang menyadari, gundahku, sisa-sisa lara semalam. Aku mensyukurinya tapi kadang mengutuknya, saat seperti ini seharusnya aku habiskan di pinggir pantai, menikmati nyiur melambai diterpa angin, melepas seluruh beban hingga ditelan ombak. Ah.
Kubenamkan kepalaku di dalam gulungan jaket, mencoba tidur di mejaku, sebuah jalan keluar satu-satunya dari otakku. Saat seperti ini memang otakku suka merajuk, hanya mau mengeluarkan daya hingga empat puluh persen saja. Maka dengan kecakapan pas-pasan, daya empat puluh persen sama saja dengan tidak bekerja sama sekali untuk ukuran mereka yang jenius. Maka disinilah aku, dengan sisa tenaga dan asa memaksa jari untuk menulis sesuatu. Paling tidak saat bos datang ia melihatku sedang mengerjakan sesuatu.

***
           
            Kami bercakap-cakap melalui sebuah aplikasi chating gratis. Semua berawal manis, tapi semua memang akan ada akhirnya, termasuk manisnya percakapan kami. Saling menebar argument, ringan pada awalnya, namun terus merangkak hingga kami berdua terseok, tak mampu lagi mengucap kata. Sungguh luar biasa hubungan yang kami jalin – entah apa namanya, tapi kami mencintai dan menyakiti di saat bersamaan. Dan kenyataan pahit ini menyita waktu dan tenaga, hingga akhirnya aku memejamkan mata untuk lari dari semua rasa sakit.
            Paginya kupikir rasa itu telah sirna, sebaliknya, seiring dengan rasa ngilu yang menggerogoti tulang-tulangku, pahit sisa semalam makin dalam menguras hati saat ia memutuskan untuk memulai kembali. Maka kami berdebat lagi. Huft.

***

            Bos ku sudah pulang, berusaha bersikap senormal mungkin saat melihat dua orang tekhnisi mengobrak-abrik atap kantor kami, memasang kabel dan antena disana-sini. Bosku memang payah, hanya berani menggertak bawahan saja, di depan orang lain mana punya nyali. Senyum saja menghias wajah seribu topeng. Tapi biarlah, demi topengnya ia jadi tidak mondar-mandir di area kami para pesuruh, bertelur di ruangannya dan mulai sandiwara sepertiku saat ini. Semoga pemasangan kabel ini memakan waktu hingga satu minggu ke depan.
            Aku kembali tersadar dari lamunanku tadi, ingatan yang menjadi alasan muramku sejak pagi. Kuberi tahu saja, saat seperti ini aku akan jarang bicara, agak aneh memang karena setiap hari aku dikenal dari nyaringnya suaraku saat mengganggu yang lain. Untungnya hari ini aku punya alibi, aku berpuasa membayar hutang tahun lalu, maka yang lain tidak akan mengganggu karena tahu akan membutuhkan banyak tenaga untuk meladeni mereka.
***
Dadaku sesak, jantung memompa darah serabutan, seolah tak peduli sirkulasi seharusnya, ia terus menyedot dan menyemburkan darah sesuka yang ia mau. Nafasku jadi tersengal, kuhimpun nyali dari hembusan satu-satu. Kukira aku takkan bangun lagi pagi ini, karena semalam rasanya sulit sekali menutup hari.
Kulirik handphoneku yang tergeletak sembarangan, masih untung tidak kulempar ke sudut kamar seperti handphone-handphone sebelumnya. Aku terkejut melihat 13 pesan dari sebuah aplikasi chating gratis – darinya. Aku tidak akan membacanya! Kusumpahi diriku bila mencoba membukanya. Kualihkan perhatian dengan membersihkan halaman, lalu tanpa rasa lelah aku lanjutkan mengepel rumah dan menyetrika. Lalu mandi. Lalu bersiap – siap menuju kantor.
Aku berhasil?! Sia-sia, aku membukanya juga dalam perjalanan menuju kantor. Tiga belas pesan singkat. Sungguh murka pada diriku sendiri setelahnya, baris demi baris yang kubaca benar menyulut amarah, membuatku gundah gulana satu jam kemudian.
Kami kembali beragumen. Aku tidak menyangka ia setega itu menghinaku. Atas semua yang telah kulakukan demi hubungan ini, ternyata sikap kekanakan yang kudapat sebagai balasnya. Aku menekan layar handphoneku sekuat tenaga, seperti kesetanan. Mencoba menenangkan diri kunyalakan radio. Percuma, air mata mulai mengambang di pelupuk mata. Sungguh tak menyangka aku pernah mencintai pria kekanakan ini, sungguh!

***

            Kantor ini masih sepi. Hari ini memang aneh, tidak biasanya kantor kami begitu sunyi pada jam seperti ini. Jangan-jangan mereka ikut merasakan gundahku? Hahahaha,
bodoh! Manusia tidak akan pernah sepeduli itu. Naluri menyayangi mereka hanya keluar saat berada dalam keadaan yang sama, maka jika ada kebaikan yang terjadi di luar keadaan itu, percayalah itu hanya topeng. Topeng kemanusiaan demi pengakuan harkat, atau demi janji Tuhan akan balasan. Karena bahkan orang tua rela menyakiti anaknya sendiri, harimau tega memakan bayinya sendiri, semua atas nama kebaikan sang anak. Cih!
            Maka aku lalu bertanya-tanya, jika mereka yang satu darah saja bisa menemukan alasan untuk saling menyakiti, bagaimana dengan mereka yang jelas-jelas tidak punya benang merah? Pantas saja begitu mudah mereka menyakiti satu sama lain. Atas nama cinta membagi hatinya, atas nama cinta menyakiti hati pasangannya, atas nama cinta menipu, membabi buta melakukan tindak kejahatan – atas nama cinta! Ah, aku berhasil mendidihkan darahku sendiri. Mungkin harus kutunda dulu kelanjutan kisah ini. Bertemu Tuhan sejenak semoga mampu mencairkan hati dan kepalaku.

***

            Aku duduk kembali di meja ini. memasang headphone mendengar lagu mellow. Ya manusia, senangnya memperparah keadaan. Hati gundah ditambah sebuah lagu sedih akan luar biasa efeknya – bertahan lama. Tapi manusia sukanya menambah-nambah, menambah-nambah rezeki, belum puas bila belum berlimpah, menambah-nambah siksa pada yang dibawah, belum puas bila darah belum bersimbah. Ya manusia, sukanya membuat susah.
            Aku masih bingung harus melakukan apa, masih saja duduk termangu, melamun tanpa arah. Kembali teringat perjalanan panjang tadi pagi.

***
           
            Aku dibonceng ayahku mengendarai motor tua, mengarungi lautan kendaraan roda dua, roda tiga, roda empat hingga kaki manusia di simpang jembatan. Sungguh berkendara di hari Senin adalah neraka! Begitu banyak kepentingan minta diberi jalan. Sayangnya malah kepentingan oknum tertentu yang menang. Maka rakyat kembali jadi bulan-bulanan. Aku marah, bukan pada kemacetan – tapi padanya disana!
            Masih saja tega mengumbar kata mengharu biru namun menusukku, memojokkanku menjadi si pendosa yang tega. Aku tidak terima tentu saja, harusnya akulah yang menjadi korban disini, kenapa malah aku penjahatnya? Laki-laki macam apa yang tega menyalahkan pasangannya? Wanita itu lemah, tak seharusnya ia disalahkan atas ambruknya sebuah hubungan. Lihatlah, aku betul-betul seperti manusia egois yang seperti sedang membela diri habis-habisan. Begitu hebat mantra yang ia ucapkan hingga kalian semua tersihir, ikut-ikutan mengambil posisi siap menyerangku.
            Astaga kami masih saja di sudut ini, rasanya sejak sepuluh menit yang lalu kami baru maju setengah centi saja! Aku kembali membalas argumentnya. Air mata mulai jatuh. Segera bercampur debu jalanan yang mengepul dari ramainya mereka yang berjibaku mencari celah.

***

            Aku mengambil tissue. Sungguh memalukan bila ada yang mendapatiku menangis di kantor. Segera kucuci wajahku. Membereskan semua barang-barangku dengan rapih ke dalam laci. Aku bersiap pulang karena hari sudah sore. Berjalan lesu keluar kantor. Saat berpapasan dengan matahari yang terbenam malu-malu, aku bergumam, betapa sia-sia pagi ini.

***



Palembang, 24 March 2014

Minggu, 23 Maret 2014

Bulan dan Mentari



Kamu adalah bulan
Aku adalah mentari
Terbitmu tenggelamku
Hadirmu disaat kepergianku
 
Kamu adalah bulan
Aku adalah mentari
Jarang sekali bisa bertemu
Kala gerhana mengepung bumi

Tidak akan pernah kembali
Tidak akan pernah sama lagi
Kehangatan, kegembiraan
Bahkan kesedihan yang pernah kita lalui
 
Kamu adalah bulan
Aku adalah mentari
Gelapmu terangku
Takkan ada yang menyadari
Sepi ku di kala siang
Sendirimu di saat malam
Hampa..

Kamu adalah bulan
Aku adalah mentari
Tiada indah selayak pantulanmu
Tiada hangat semurni sinarku
Andai mampu menyatu
Beribu abad takkan cukup melepas rindu


Unknown place, edited on 23 March 2014