Rabu, 20 Mei 2015

Anugerah itu sederhana

     UN untuk tingkat SD baru saja berlalu. Pada tanggal 18, 19 dan 20 Mei lalu, para anak usia 12 tahunan memperjuangkan harga diri orang tuanya di atas meja panas. Kenapa saya katakan harga diri orang tua yang diperjuangkan bukan si anak? Well, mereka hanya anak usia 12 tahun yang masih senang bermain-main. Yang ketika bangun sekolah harus susah payah dibujuk dan dirayu. Apakah menurut anda mereka akan merasa malu jika sampai tidak lulus dari sekolah dasarnya? Mungkin bagi beberapa anak yang (orang tuanya) terobsesi pada prestasi akademik iya, UN akan menjadi even bergengsi. Tapi saya yakin bagi sebagian besar anak lainnya tidak. Mereka hanya berupaya menuruti keinginan orang tuanya, jauh di dalam hati mereka yang (masih) begitu luas, terbentang keinginan untuk menikmati masa indah sebagai seorang anak. Mengeksplorasi diri dan dunia, dengan bergelora membuka knop-knop motorik pada tubuh yang mungkin masih tertutup.
     Pernahkah anda melihat seorang anak usia sekolah dasar sudah menggunakan kacamata super tebal untuk anak seusianya? Bayangkan betapa sedihnya ia karena telah kehilangan kilau matanya dalam waktu secepat itu. Terkurung dalam rumah sempit, bukannya keluar dan berlari lincah dalam dunia imajinasi masa kecil? But well, saya tidak akan menggunakan postingan kali ini dengan keluhan dan sarkasme soal Ujian Besar yang harus dihadapi oleh anak-anak sekecil itu.
     Kembali pada topik UN yang harus dihadapi oleh anak-anak SD se-Indonesia. Ujian itu juga tidak mengecualikan para anak luar biasa yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa. Seperti tiga orang siswi dari SLB - A Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra yang berlokasi di jalan MP. Mangkunegara Palembang ini.
     Bukan untuk memperjuangkan harga diri orang tua karena itu sudah hilang sejak mereka dilahirkan, bukan pula untuk merubah masa depan karena pun setelah lulus SD, mereka tetap akan berada di panti rehabilitasi karena telah dititipkan orang tua yang tidak memiliki kemampuan untuk menemukan anugerah yang diberikan Tuhan lewat kekurangan yang dimiliki oleh anak-anak luar biasanya itu. Lalu untuk apa mereka giat belajar dan berusaha gigih agar mampu melewati ujian ini? Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya karena kemarin tidak sempat menanyakan pertanyaan itu. Ini adalah peliputan pertama yang saya buat untuk blog ini, tentu menjadi pembelajaran besar untuk tulisan selanjutnya.
     Namun saya tidak lupa untuk memotret mereka. Inilah ketiga anak luar biasa yang membuat remuk hati saya seketika masuk ke ruang kelas sempit itu.
 

     Dita Marisah Arum Prianti, Juwita Putri Amelia dan Talita Anggraini. Tiga siswi kelas 6 SLB-A yang tahun ini mengikuti UN di Panti Rehab itu. Bukankah nama-nama mereka sangat cantik? Saya yakin meski kecewa, para orang tua mereka tetap berusaha mensyukuri titipan Tuhan ini, meski hanya melalui sebuah nama. Saat saya datang, mereka sedang mengerjakan soal ujian Matematika. Terdiri dari 40 soal (10 soal lebih sedikit dari Mata Pelajaran UN lainnya), lembar ujian yang ditulisan menggunakan huruf Braile itu diraba dengan serius oleh mereka bertiga. Sementara lembar jawaban diletakkan disebelahnya, juga dalam huruf Braile. Bagaimana cara mereka menjawab? Tonjolan-tonjolan yang menjadi elemen utama dari huruf Braile, ditekan menggunakan jari sehingga tonjolannya menjadi rata dengan kertas (seperti gelembung plastik pelindung barang elektronik yang sering kita pecahkan saat kecil).

     Terakhir, mereka mengukir nama di bagian atas lembar jawaban menggunakan alat tulis yang disebut Riglet.

     Meski lupa menanyakan apa yang mereka harapkan dengan lulus dari ujian ini dan seperti apa masa depan yang mereka bayangkan, namun saya sempat berkenalan dengan salah satu dari mereka. Ia menyelesaikan ujian ini lebih dulu dari kedua temannya. Perkenalkan, ini Talita.

 

     Bisa dirasakan bukan semangat dan keyakinannya akan bisa melewati ujian ini? Apa ada sedikit rasa malu karena sebagai manusia normal, kita tidak (atau lupa) untuk mensyukuri hidup kita yang jauh lebih mudah darinya? Pernah membayangkan bagaimana jika besok matahari hanya bisa dirasakan kehangatannya tanpa bisa kita lihat kemerahannya? Atau megahnya petir yang hanya bisa kita dengar gemuruhnya tanpa bisa dilihat kilatannya? Bersyukurlah, karena sungguh, hanya itu yang bisa kita lakukan untuk membalas semua nikmat Tuhan. Mungkin bagi sebagian kita, sulit untuk mengakui bahwa tidaklah seberapa masalah yang saat ini sedang mendera, maka cobalah untuk mengunjungi mereka. Menatapnya dalam-dalam, lalu memeluknya. Kita bukan siapa-siapa.


Palembang, 21 Mei 2015 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar