Pernahkah anda melihat seorang anak usia sekolah dasar sudah menggunakan kacamata super tebal untuk anak seusianya? Bayangkan betapa sedihnya ia karena telah kehilangan kilau matanya dalam waktu secepat itu. Terkurung dalam rumah sempit, bukannya keluar dan berlari lincah dalam dunia imajinasi masa kecil? But well, saya tidak akan menggunakan postingan kali ini dengan keluhan dan sarkasme soal Ujian Besar yang harus dihadapi oleh anak-anak sekecil itu.
Kembali pada topik UN yang harus dihadapi oleh anak-anak SD se-Indonesia. Ujian itu juga tidak mengecualikan para anak luar biasa yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa. Seperti tiga orang siswi dari SLB - A Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra yang berlokasi di jalan MP. Mangkunegara Palembang ini.
Bukan untuk memperjuangkan harga diri orang tua karena itu sudah hilang sejak mereka dilahirkan, bukan pula untuk merubah masa depan karena pun setelah lulus SD, mereka tetap akan berada di panti rehabilitasi karena telah dititipkan orang tua yang tidak memiliki kemampuan untuk menemukan anugerah yang diberikan Tuhan lewat kekurangan yang dimiliki oleh anak-anak luar biasanya itu. Lalu untuk apa mereka giat belajar dan berusaha gigih agar mampu melewati ujian ini? Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya karena kemarin tidak sempat menanyakan pertanyaan itu. Ini adalah peliputan pertama yang saya buat untuk blog ini, tentu menjadi pembelajaran besar untuk tulisan selanjutnya.
Namun saya tidak lupa untuk memotret mereka. Inilah ketiga anak luar biasa yang membuat remuk hati saya seketika masuk ke ruang kelas sempit itu.
Dita Marisah Arum Prianti, Juwita Putri Amelia dan Talita Anggraini. Tiga siswi kelas 6 SLB-A yang tahun ini mengikuti UN di Panti Rehab itu. Bukankah nama-nama mereka sangat cantik? Saya yakin meski kecewa, para orang tua mereka tetap berusaha mensyukuri titipan Tuhan ini, meski hanya melalui sebuah nama. Saat saya datang, mereka sedang mengerjakan soal ujian Matematika. Terdiri dari 40 soal (10 soal lebih sedikit dari Mata Pelajaran UN lainnya), lembar ujian yang ditulisan menggunakan huruf Braile itu diraba dengan serius oleh mereka bertiga. Sementara lembar jawaban diletakkan disebelahnya, juga dalam huruf Braile. Bagaimana cara mereka menjawab? Tonjolan-tonjolan yang menjadi elemen utama dari huruf Braile, ditekan menggunakan jari sehingga tonjolannya menjadi rata dengan kertas (seperti gelembung plastik pelindung barang elektronik yang sering kita pecahkan saat kecil).
Terakhir, mereka mengukir nama di bagian atas lembar jawaban menggunakan alat tulis yang disebut Riglet.
Meski lupa menanyakan apa yang mereka harapkan dengan lulus dari ujian ini dan seperti apa masa depan yang mereka bayangkan, namun saya sempat berkenalan dengan salah satu dari mereka. Ia menyelesaikan ujian ini lebih dulu dari kedua temannya. Perkenalkan, ini Talita.
Palembang, 21 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar